Mental Health | Kesehatan Jiwa






Dalam bahasa inggris mental yang sehat disebut mental health. Dan dalam bahas latin kata mental disebut mens atau mentis yang artinya jiwa, nyawa, sukma, roh, dan semangat.[1] Dalam Bahasa Indonesia kata mental diartikan dengan “batin dan watak manusia yang bukan bersifat badan atau tenaga”.[2] Sedangkan kata kesehatan berasal dari kata dasar “sehat” yang berarti “baik atau dalam keadaan normal”.[3], yang merupakan lawan dari kata sakit atau keadaan abnormal.

Terdapat beragam pemaknaan untuk merumuskan kesehatan mental sebagai kondisi kejiwaan dari para ahli psikologi, diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Musthofa Fahmi: kesehatan jiwa atau mental adalah bebas dari gejala dan gangguan kejiwaan (kegoncangan jiwa).[4]
  • Karl Menninger: Kesehatan mental adalah penyesuaian manusia terhadap dunia dan satu sama lain dengan keefektifan dan kebahagiaan yang maksimum, yang meliputi kemampuan menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku dengan menenggang perasaan orang lain dan sikap hidup yang bahagia.[5]
  • Syamsu Yusuf: kesehatan mental adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu selaras dengan perkembangan orang lain.[6]
  • Zakiah Daradjat: kesehatan mental adalah keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya berlandaskan keimanan dan ketakwaan untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.[7]
  • Abdul Aziz el-Qudsy: kesehatan mental adalah keserasian yang sempurna (integrasi) antara fungsi-fungsi jiwa yang bermacam-macam disertai kemampuan untuk menghadapi kegoncangan-kegoncangan jiwa yang ringan disamping secara positif dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan.[8]
  • Yahya Jaya: dari segi agama kesehatan mental adalah keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME.[9]


Berdasarkan rumusan-rumusan di atas maka kesehatan mental yang dimaksud disini adalah kondisi mental yang sehat (mental health) yaitu adanya keserasian yang sungguh-sungguh antara f ungsi-fungsi jiwa, terbebas dari segala goncangan jiwa yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional yang optimal dari seseorang (yang selaras dengan perkembangan orang lain), berdasarkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME, untuk mencapai kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

Indikator Mental Yang Sehat (Mental Health).

Mental atau jiwa manusia adalah hal-hal yang abstrak dan sulit diamati dari luar, untuk bisa merumuskan tolak ukur kesehatannya perlu dilakukan perbandingan terlebih dahulu dengan hal yang sifatnya konkret yang juga terdapat pada manusia seperti badan atau jasmaninya.

Seseorang dikatakan memiliki jasmani yang sehat apabila terdapat keserasian yang sempurna antara fungsi-fungsi jasmani yang bermacam-macam yang disertai kemampuan untuk menghadapi kesukaran-kesukaran yang biasa terjadi dan secara positif merasa kuat, gesit dan bersemangat.[10]

Dalam pengertian ini jasmani yang sehat ditandai dengan adanya koordinasi yang sungguh-sungguh antara anggota tubuh. Sehingga masing-masing bisa berfungsi sebagaimana mestinya dan adanya kemampuan tubuh untuk menghadapi perubahan-perubahan yang biasa terjadi pada lingkungan, seperti naiknya suhu tubuh dan kinerja jantung ketika terjadi perubahan suhu udara atau serbuan sel-sel darah putih ketika terjadi luka. Hal ini memungkinkan tubuh untuk bisa menangkal penyakit-penyakit yang ringan sehingga tubuh merasa sehat, segar, kuat, dan bersemangat.

Berdasarkan tolak ukur jasmani yang sehat tersebut maka dapat dirumuskan bahwa mental yang sehat tolak ukurnya adalah keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa yang disertai kemampuan jiwa untuk menghadapi kegoncangan-kegoncangan jiwa yang ringan serta secara positif merasakan kebahagiaan dan kemampuan.[11]

Selain itu tolak ukur yang tidak kalah penting dikemukakan oleh Zakiah Daradjat bahwa mental yang sehat adalah yang beriman kepada Tuhan YME, atau memiliki keyakinan beragama.[12]

Adapun penjelasan indikator-indikator ini adalah sebagai berikut:

Keserasian Fungsi–fungsi Jiwa

Keserasian fungsi-fungsi jiwa merupakan bentuk keseimbangan antara berbagai potensi jiwa sehingga jiwa atau mental (secara keseluruhan) dapat terbebas dari goncangan akibat ketidakserasian yang sering terjadi. Fungsi-fungsi jiwa tersebut meliputi pikiran, perasaan, dan kemauan (dorongan).[13] Fungsi-fungsi ini disebut pula dengan fungsi penyesuaian diri.

(*) Pikiran
Banyak yang menduga bahwa pikiran tempatnya di otak, sedangkan hati (kalbu) tempatnya di jantung. Hal ini tidak dibenarkan karena pikiran dan hati (kalbu) adalah sesuatu yang abstrak yang berada pada jiwa manusia dan bukan merupakan organ tubuh. Pikiran tidak berupa materi tetapi merupakan energi yang bermagnet kuat yang bisa mempengaruhi apa saja, orang, binatang, tumbuhan, bahkan benda.[14]

Pikiran adalah “hasil pekerjaan akal, bisa berupa bahan yang masuk dan diolah akal (dipikirkan melalui proses berfikir) maupun berupa buah karya akal.[15] Berfikir merupakan kemampuan untuk meletakkan hubungan dari bagian-bagian pengetahuan proses atau jalannya berfikir dimulai dari pembentukan pengertian kemudian pembentukan pendapat dan terakhir adalah penarikan kesimpulan.[16] Proses berfikir biasanya dibangkitkan oleh suatu masalah atau tugas tertentu yang masuk ke akal untuk dicarikan solusi atau penyelesaiannya dengan diorientasikan pada kenyataan.[17] Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, terdapat dua bentuk kemampuan pikiran sebagai buah karya akal yaitu pikiran positif dan negatif. Pikiran positif (baik) akan mendorong individunya untuk berbuat baik demikian pula sebaliknya. Pikiran biasanya disalurkan melalui perkataan kemudian di tindak lanjuti melalui perbuatan. Namun pikiran juga bisa tidak disalurkan melalui dua cara tersebut tetapi melalui getaran-getaran tak terlihat yang bisa mempengaruhi makhluk lainnya. Pengaruh pikiran ini biasanya disebut sugesti.[18]

Dilihat dari sifatnya pikiran juga bisa dibedakan menjadi pikiran yang kuat dan yang lemah. Pikiran kuat akan dapat meminimalkan pengaruh sugesti dari luar sehingga kondisinya lebih stabil, sedangkan pikiran lemah merupakan kebalikannya, lebih mudah terpengaruh sugesti luar dan labil.
Pikiran yang menjadi bagian dari mental yang sehat adalah pikiran yang positif dan kuat (konsentrasi tinggi, optimistis, realistis, tanpa adanya fantasi dan angan-angan yang berlebihan). Sehingga mampu memaksimalkan kemampuannya dalam proses berfikir yaitu mampu berfikir secara mendalam dengan wawasan tajam dan jernih serta menggunakan akal budi dan kebijaksanaan hingga tersusun reorganisasi dari aktivitas-aktivitasnya.

(**) Perasaan
Perasan merupakan suasana batin yang dihayati seseorang pada suatu saat yang tidak banyak melibatkan aspek-aspek fisik karena sifatnya yang tenang dan tertutup.[19] Perasaan (kesadaran) adalah fungsi mental terpenting karena mental bisa dipelajari melalui perasaan.[20] Perasaan bergerak dari ujung paling positif yaitu sangat senang sampai ujung paling negatif yaitu sangat tidak senang yang terlebih dahulu diawali dengan proses pengenalan.[21]

Perasaan sifatnya subyektif. Perasan satu orang akan berbeda dengan perasaan yang lainnya walaupun obyek yang dihadapi sama. Apa yang dirasa menyenangkan bagi seseorang belum tentu dirasakan sama oleh yang lain. Selain itu sifatnya juga temporer (tidak menetap), sesuatu yang dirasa enak dan menyenangkan pada suatu saat belum tentu dirasakan sama pada saat yang lain.

Perasaan berkembang bersama dengan individu dan pengalamannya. Semakin dewasa dan luas pengalaman seseorang akan semakin luas pula ruang lingkup perasaan dan kecenderungannya.[22] Perasaan pada waktu kanak-kanak hanya terdiri atas sejumlah kecil pengenalan peradaban sederhana secara kasar, kemudian perasaan tersebut tumbuh seiring dengan pertambahan usia (kematangan) dan pengalamannya. Perasaan akan terus bertambah kuantitas perasan bisa menjadi sangat banyak.

Biarpun kuantitasnya banyak dan berbeda antara satu orang dengan orang lainnya, tetapi secara umum perasaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu perasan indriah dan rohaniah. Perasaan jasmaniah berkaitan dengan keadaan jasmani seperti, rasa asin, pahit, sehat, letih, lapar, haus dan yang lainnya. Sedangkan perasaan rohaniah berkaitan dengan perasaan jiwa yang lebih abstrak seperti rasa harga diri, rasa keindahan, kesusilaan, rasa sosial, dan masih banyak yang lainnya.[23]

Perasaan-perasaan tersebut bisa bersifat konstruktif (membangun) dan bisa bersifat destruktif (merusak). Perasaan gembira (senang) cenderung konstruktif, sedangkan perasaan sedih cenderung destruktif (melemahkan). Perasaan akan memberikan pengaruh kuat terhadap pikiran, kemauan, dan perbuatan.[24]

Perasaan-perasaan jiwa (psikis) berpengaruh besar terhadap kebahagiaan individunya. Perasaan seseorang juga mudah menular (infeksi psikis) terhadap orang-orang disekitarnya. Kebahagiaan, kecemasan, kesedihan atau perasaan lain yang dialami seseorang, bisa dialami juga oleh lingkungannya.

Kondisi perasaan yang berkesinambungan yaitu dengan selalu timbulnya rasa senang-tidak senang secara baur (tidak jelas) biasa disebut dengan “suasana hati”. Perasaan-perasaan (suasana hati) tersebut mengandung penilaian konteks terhadap situasi hidup (lingkungan) yang bisa menjadi dorongan untuk berbuat baik atau sebaliknya kepada lingkungannya. Perasan merupakan bagian primer dari kehidupan psikis, tetapi dia juga dipengaruhi oleh pikiran (fungsi pengenalan dan pengalaman masa lalu, dan pemecahan konflik) serta dorongan-dorongan perasaan positif muncul apabila terpenuhinya berbagai dorongan kebutuhan, sedangkan perasaan negatif muncul apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi.[25]

Perasaan negatif seperti rasa cemas, lelah, perasaan takut, rendah diri (perasaan diri negatif) bisa menimbulkan perasaan takut atau rasa tidak sehat yang bisa mengganggu efisien kerja sehari-hari. Perasaan tersebut bisa mempermudah masuknya pengaruh luar yang masuk kedalam jiwa. Pada tiap-tiap orang ada satu perasan yang menonjol, bisa terhadap harta, ilmu, anak-anaknya atau terhadap dirinya sendiri. Perasaan yang menonjol itulah yang dapat menyatukan arah perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan yang besar terhadap kelakuannya untuk memuaskan atau memenuhi keinginan (perasaan dorongan) yang menonjol tersebut.[26]

Dalam ilmu jiwa telah diteliti bahwa yang merupakan pengendali utama dalam sikap, tindakan dan perbuatan seseorang bukanlah akal (pikiran) saja, akan tetapi perasaan justru memegang peran yang lebih penting. Tidak selamanya perasaan tunduk pada pikiran, bahkan pikiranlah yang sering kali harus tunduk pada perasaan.[27] Perasaan bisa bekerja dan mempengaruhi pikiran tanpa pikiran menyadarinya. Pikiran dan perasaan dalam intensitas tertentu bisa menjadi dorongan-dorongan untuk melakukan sesuatu.

(***) Dorongan
Dorongan merupakan bentuk-bentuk perasaan dan pikiran yang bercampur daripadanya suatu kemauan untuk melakukan sesuatu. Dorongan dapat dibagi menjadi dua macam yaitu dorongan yang khusus (naluri) dan dorongan yang umum.

Dorongan khusus (naluri) merupakan satuan-satuan keturunan yang diwarisi dalam berbagai tingkatan tertentu,[28] yang merupakan pembawaan dari lahir untuk melakukan tindakan tertentu pada saat tertentu. Contoh naluri adalah naluri keibuan, ingin tahu, berperang, menyelamatkan diri, mencari makan, jijik, seks, minta tolong, tunduk berkuasa, berkumpul, meruntuh-membangun, dan naluri ketawa.[29] Kelakuan manusia dapat dikembalikan kepada dorongan fitrahnya yang utama atau naluri ini, karena naluri merupakan penggerak utama dari kelakuan.[30]

Dorongan umum meliputi sugesti, simpati, imitasi dan bermain. Sugesti merupakan pemindahan pemikiran (pengenalan) dari seorang kepada orang lain yang bisa terjadi dengan syarat-syarat tertentu.[31] Simpati merupakan suatu kecenderungan untuk turut melaksanakan apa yang dirasakan orang lain (feeling with another person).[32] Sedangkan imitasi, merupakan perpindahan bermacam kelakuan orang lain (untuk ditiru). Adapun bermain adalah kecenderungan untuk bersenang-senang.

Karena dorongan erat kaitannya dengan pikiran dan perasaan, maka dorongan juga bisa bersifat konstruktif atau destruktif , dimana pembentukan masing-masing saling berkaitan satu dengan yang lain. Dorongan merupakan motivasi jiwa untuk memenuhi kebutuhan.[33] Baik fisik maupun psikis, kebutuhan fisik meliputi makan-minum, seks, atau istirahat. Sedangkan kebutuhan psikis berbeda antara satu orang dengan orang lain karena tergantung pengalaman, pendidikan, dan lingkungan. Akan tetapi ada juga kebutuhan jiwa yang dirasakan oleh setiap orang seperti kebutuhan jiwa yang dirasakan oleh setiap orang seperti kebutuhan akan rasa kasih sayang, aman, bebas, harga diri atau sukses.[34]

Ketiga fungsi jiwa ini (pikiran, perasaan, dan dorongan) biarpun intensitasnya berbeda namun, selalu berkaitan dalam kehidupan psikis. Pengenalan (pemikiran) selalu disertai dengan perasaan dan atau dorongan, demikian pula perasaan dan dorongan selalu disertai dengan pengenalan (pemikiran).[35] Sehingga hampir tidak ada yang disebut dengan perasaan murni atau pengenalan dan dorongan murni tanpa melibatkan fungsi yang lain.

Keserasian fungsi-fungsi jiwa terjadi apabila masing-masing dari fungsi tersebut bekerjasama secara harmonis dimana tidak ada yang difungsikan lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya diperlukan.[36] Sehingga memunculkan kemampuan untuk menghadapi perubahan baik dari lingkungan luar maupun dari fisiknya. Akan tetapi tidak jarang ketiganya saling berbenturan atau berlawanan sehingga menimbulkan kegoncangan-kegoncangan dalam jiwa. Apabila ketiganya tidak mampu untuk berintegrasi kembali maka kegoncangan yang terjadi bisa semakin hebat sehingga melebihi kemampuan jiwa. Keadaan inilah yang menyebabkan keadaan sakit pada jiwa. Namun perlu diingat bahwa tidak ada keharmonisan yang benar-benar sempurna, karena kemampuan fungsi jiwa pada masing-masing orang berbeda, yang menunjukkan sehat tidaknya mental adalah derajat jauh dekatnya keserasian tersebut dengan kondisi yang normal.[37]

[1] Kartini Kartono dan Jenny Andari, Hyhiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, (Bandung:: Penerbit Mandar Maju, 1989), hlm. 3

[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembina Dan Pengembangan Bahas Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 646.

[3] Ibid., hlm. 890

[4] Musthofa Fahmi, Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 21

[5] A. Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995), cet.6, hlm. 9

[6] Syamsu Yusuf, op.cit., hlm. 19

[7] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental Peranannya dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1984), hlm.4

[8] Abdul Aziz el-Qudsy, Pokok-pokok Kesehatan Jiwa atau Mental, terj. Zakiah Daradjat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989). Hlm. 38

[9] Yahya Jaya, Spiritual Islam: Dalam Menumbuhkembangkan Kepribadian dan Kesehatan Mental, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 79

[10] Abdul Aziz el-Qudsy, Pokok-pokok Kesehatan Jiwa atau Mental., op.cit., hlm. 36

[11] Ibid., hlm. 36

[12] Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, tth), hlm. 45

[13] Karini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan-gangguan Kejiwaan, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), cet.1, hlm. 6

[14] Mas Rahim Salaby, Mengatasi Kegoncangan Jiwa, Membangun Ketahanan Mental: Perspektif al-Qur'an dan Sains, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), cet.1, hlm. 108

[15] Ibid.

[16] Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet.7, hlm. 54

[17] WF. Maramis, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, (Surabaya: Erlangga University Press, 1990), hlm. 113

[18] Mas Rahim Salaby, op.cit., hlm. 110

[19] Nana Syaodih Sukamadinata, op.cit.,hlm. 109-110

[20] Abdul Aziz el-Qudsy, Ilmu Jiwa: Prinsip-prinsip dan Implementasinya dalam Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang, tth), hlm. 136

[21] Maksudnya perasaan bersangkutan dengan fungsi mengenal sehingga dapat timbul karena mengamati, mengkhayalkan, menanggapi, memikirkan atau mengingat-ingat sesuatu.

[22] Abdul Aziz el-Qudsy, Pokok-pokok Kesehatan Jiwa atau Mental , op.cit.,hlm.132

[23] S umardi Suryabrata, op.cit., hlm. 67-69

[24] Kartini Kartono, Patologi Sosial 3: Gangguan –gangguan Kejiwaan,, op.cit, hlm. 134

[25] Ibid, hlm. 153-154

[26] Abdul Aziz el-Qudsy, Pokok-pokok Kesehatan Jiwa Atau Mental, op.cit, hlm. 133-134

[27] Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental: Pokok-pokok Keimanan, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), cet. 2, hlm. 12-13

[28]Ibid, hlm. 103-104

[29] Ibid, hlm. 58

[30] Ibid, hlm. 108

[31] Abdul Aziz al-Qudsy, Ilmu Jiwa Prinsip-prinsip dan Implementasinya dalam Pendidikan, op.cit, hlm. 240

[32] Nana Syaodih Sukmadinata, op.cit, hlm. 79

[33] Kebutuhan-kebutuhan mendorong jiwa untuk memberikan respon terbaik guna memperoleh jalan untuk memenuhi kebutuhan tersebut

[34] Jamaluddin Ancok dan Fuad Nashari Suroso, Psikologi islami¸ (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995) cet. 2, hlm. 92

[35] Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), cet. X, hlm. 13

[36] Ibid, hlm. 14

[37] Abdul Aziz al-Qudsy, Pokok-pokok Kesehatan Jiwa atau Mental, op.cit, hlm. 39

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Facebook Themes